Suatu hari, seorang anak remaja, secara tidak sengaja, mendapati bahwa kedua tangan ibunya ternyata jelek sekali karena bekas luka bakar. Selama ini sang ibu berhasil menyembunyikannya dengan selalu memakai baju berlengan panjang. Si remaja kaget, terkejut, dan menunjukkan mimik tak suka setengah merasa jijik.
Ibu yang melihat reaksi anaknya demikian berkata dengan lembut, “Nak, ke sini deh sebentar. Ibu mau cerita tentang tangan ini.”
Perlahan si anak mendekati ibunya.
“Kamu mau tahu kenapa tangan Ibu jelek seperti ini?” tanyanya.
Si anak menggeleng perlahan.
“Ceritanya begini. Dulu, ketika kamu masih bayi, kita adalah keluarga baru yang merantau ke Jakarta ini. Ayahmu hanya mampu mengontrak rumah sederhana di pemukiman padat. Setiap hari ayahmu membanting tulang mencukupi kebutuhan kita, sedangkan Ibu selain membesarkan kamu juga harus bekerja sebagai buruh cuci.”
“Suatu hari, ketika Ibu sedang bekerja, terdengar teriakan, ‘kebakaran ... kebakaran ... kebakaran’. Dengan panik, Ibu meninggalkan cucian, berlari menuju tempat kebakaran. Sesampai di sana badan Ibu langsung lemas, karena ternyata rumah kita sedang diamuk api.”
“Tahukah di mana kamu waktu itu? Di kamar tertidur pulas. Dengan histeris Ibu menerobos masuk untuk menyelamatkan kamu, tetapi dihalangi oleh masyarakat. Tentu tidak mungkin Ibu membiarkan kamu dilalap api. Dengan sekuat tenaga dibantu badan yang licin karena dipenuhi sabun, Ibu pun terlepas.”
“Ibu menerobos masuk, menerjang pintu kamar, dan menemukan kamu sudah dikelilingi api. Syukur kamu belum apa-apa. Dengan segera Ibu membungkus kamu dengan sarung basah. Tinggal, bagaimana caranya keluar? Asap hitam di mana-mana dan Ibu kehilangan arah. Namun Ibu nekat menerobos dan berhasil menemukan pintu keluar.”
“Sayang, karena panik, Ibu tidak memperhatikan sekeliling. Sebatang kayu yang sedang terbakar jatuh dan menimpa tangan Ibu. Kamu terlepas dan diselamatkan warga. Tapi seperti nilah jadinya tangan Ibumu.”
Mendengar kisah dramatis itu, si remaja diam terpaku, terpesona. Perasaan haru muncul di hatinya hingga tidak sadar air mata pun meleleh di pipinya. Perlahan dia pun mendekatkan dirinya ke tangan itu, memeluk, dan menciuminya dengan lembut seraya berkata, “Tangan Ibu hebat dan kuat. Aku bangga, Ibu begitu mengasihiku, rela mengorbankan segalanya untuk menyelamatkan aku. Sungguh, aku sayang tangan Ibu.”
* * * *
Sesuatu itu baik atau buruk tergantung bagaimana kita melihatnya. Tangan Ibu tampak buruk tanpa kisah dibaliknya. Namun ketika kisah tangan itu diceriterakan, maka seketika terjadi perubahan pandangan: dari tangan buruk menjadi tangan indah.
Etos 5 yang berbunyi kerja adalah ibadah, aku bekerja serius penuh kecintaan, menuntut kita menggeser cara pandang pada pekerjaan. Ketika kita mampu bekerja dengan niat untuk dibaktikan kepada Tuhan, dalam sekejap wajah pekerjaan pun menjadi indah.
Wajah kerja sering kali terasa buruk. Bisa karena upahnya kecil, jauh jaraknya dari rumah, suasana terasa monoton, upahnya tidak setinggi harapan, teman sekantor tidak bersahabat, dan banyak alasan lainnya. Namun jika kita mengerti bahwa pekerjaan adalah cara Tuhan memberkati kita, maka timbullah kesadaran baru bahwa pekerjaan itu sangat berharga, bahkan mulia.
Renungkanlah makna baru pekerjaan anda. Dengan pekerjaan itu, melalui pekerjan itu, anda pernah, sedang, dan akan diberkati Tuhan. Dengan cara demikian, seperti diktum etos ini, kerja adalah ibadah, maka kita akan mampu bekerja serius penuh kecintaan dan penuh sukacita.
Makna lain kisah tangan Ibu, pasti bisa Anda petik.
Artikel lainnya
No comments:
Post a Comment